Tafsir Pase
Latar Belakang Judul
Latar belakang judul buku ini diilhami oleh nama sebuah Kerajaan
Islam/Daulah Kesultanan Samudera Pase atau lebih popular dengan Kesultanan
Islam Samudera Pase. Dinamakan Kesultanan Samudera Pase karena kesultanan
tersebut terletak di kampong Kuta Krueng atau Kotakarang di tepi sungai Krueng
Pase dalam wilayah Kecamatan Samudra Geudong, sekarang termasuk dalam kawasan
Kaupaten Aceh Utara, kurang lebih 14 kilometer sebelah timur kota Lhok Seumawe.
Sultan pertama
kesultanan ini bernama Sultan Johan Syah yang dinobatkan pada tahun 1205
Masehi. Ia berasal dari Malabar, India dan terkenal sebagai pendiri
Daulah/Kerajaan Pase. Setelah Sultan johan Syah, kesultanan Pase dipimpin oleh
Malikus-salih (Meurah Silu), tahun 1291-1297. Pada masa Malikus-Salih,
kesultanan Pase dipersatukan dengan Perlak (Aceh:Peureulak)
menjadi satu kesultanan, yaitu Kesultanan Islam Samudra Pase yang luass
wilayahnya dari Tamiang (Kuala Simpang) ke Krueng Ulim (Samalanga) dengan
ibukotanya Samudra. Kemudian Sultan Malikus-Saleh secara berturut-turut
digantikan oleh Malikus-Zahir I (1297-1326), Malik az Zahir II (1326-1348),
Sultan Zainal Abidin (1350. Dan Sultan Iskandar Shah (1412). Setelah itu
kesultanan Samudera Pase mulai goyah akibat serangan dari luar, seperti
serangan dari Siam, Majapahit dan Nakur. Kesultanan Samudra Pase berakhir pada
tahun 1524. Usia Kesultanan ini sekitar tiga abad lamanya. Selama tiga abad
itu, Kesultanan Samudra Pase mengukir sejarah paling gemilang sebagai Pusat
Kerajaan Islam (Daulah Islamiyyah) di Nusantara. Sejak masa kesultanan ini,
Aceh telah mengadakan hubungan dengan luar negeri, seperti Malaysia, Saudi
Arabia, India, Iran, Mesir, dan Turki.
Menurut cacatan
Marco polo dari Venesia Italia, berdasarkan pengamatannya ketika berkunjung ke
Kesultanan Samudra pase pada tahun 1345, para Sultan Pase menaruh perhatian
besar terhadap kajian Islam atau masalah-masalah keagamaan. Maka, keharmonisan
antara Sultan dan Ulama benar-benar terjalin dengan baik. Di dalam istana
kesultanan diadakan halaqah atau majlis pengajian, muzakarah atau
diskusi keagamaan, dan Sultan ikut serta di dalamnya. Dari halaqah pengajian
tersebut, lahirlah kader-kader ulama dan juru dakwah Islam yang bertebaran ke
seluruh penjuru Nusantara. Merekalah yang mengislamkan Nusantara. Meskipun
Kesultanan Samudera Pase telah jatuh, ia tetap menjadi Pusat Studi Islam yang
eksis sampai beberapa abad lamanya.
Untuk mengenang
masa-masa kejayaan Kesultanan Samudra Pase, yang merupakan Kesultanan Islam dan
cikal bakal Pusat Studi Islam di Nusantara, maka buku ini diberi judul Tafsir
Pase. Dan mengidupkan kembali tradisi kajian Islam, seperti dilakukan
pada masa Kesultanan tersebut, maka didirikanlah sebuah Balai (Aceh: Bale)
Pengajian yang diberi nama dengan Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase pada
tanggal 21 Mei 1998.
Buku tafsir ini
adalah hasil pengelolaan dan penyempurnaan dari makalah-makalah yang
dpresentasikan dalam pertemuan-pertemuan (halaqah) pengajian Bale Kajian Tafsir
al-Quran, Masyarakat Pase, Kompleks Bappenas dan Perumahan Pondok Indah Jakarta
yang diadakan secara berkala setiap bulan, dengan berpindah-pindah dari rumah
ke rumah, yang sudah berlangsung selama dua tahun lebih. Para penulis naskah
berasal dari berbagai disiplin ilmu, demikian pula pesertanya yang heterogen. Heterogenitas
ini menjadikan pola penyampaian yang beragam pula. Dari hasil kajian dalam
halaqah tersebut, dibentuklah sebuah Tim Kecil yang beranggotakan lima orang
untuk mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan dan bahkan penulisan ulang, dengan
penambahan materi, penentuan topic, penetapan sistematika dan penambahan
rujukan, sehingga dapat disajikan ke hadapan siding pembaca yang budiman dalam
bentuk buku yang diberi judul : Tafsir Pase: Kajian Surah Al-Fatihah dan
Surah-surah Dalam Juz ‘Amma (Paradigma Baru); sebagai seri pertama.
Keistimewaan Tafsir Pase
Tafsir Pase ini
merupakan tafsir yang unik. pada dasarnya, penafsiran itu diberikan dalam
bahasa Indonesia. Namun disertai dengan bahasa daerah, yaitu bahasa Aceh,
dengan bentuk puisi dan sajak. Cara ini dimaksudkan agar
penafsirannya dapat menyentuh pembaca, terutama yang berasal dari daerah
Istimewa Aceh.
Keistimewaan lain
dari tafsir ini adalah pemberian tema sentral pada setiap surah. Sebagai
contoh: surah Al-Fatihah ( Esensi Al-Quran), surah An-Nas (Penangkal
Kejahatan), surah Al-Falaq (Permohonan Perlindungan), surah
Al-Ikhlas ( Monotheisme Murni), dan surah Al-Lahab ( Akibat Menentang
Kebenaran). Kemudian pada setiap penggalan ayat diberikan topik tertentu
sesuai dengan muatan pesan dalam ayat-ayat tersebut.
Tafsir Pase: Paradigma Baru
Tafsir Pase (e
dibaca seperti bunyi elok) memiliki beberapa keunikan, antara lain:
tafsir ini dalam pembahasannya memadukan unsure-unsur Qurani dengan nuansa
cultural. Hal ini dapat dilihat pada sistematika dan penerjemahan ayat-ayat
yang memadukan bahasa aslinya dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa
daerah yang ditampilkan pun sangat unik, yaitu bahasa yang bersajak dalam
bahasa Acah atau disebut juga dengan nazham Aceh. Unsur kedaerahan ini
sengaja ditampilkan unutk memperkaya khazanah pemahaman al-Quran dan sekaligus mengakrabkan pembaca
kepada bahasa ibunya, terutama mereka yang berasal dari Daerah Aceh. Di samping
itu, pembahasa dan uraian ayat demi ayat disajikan dengan bahasa Indonesia agar
dapat dipahami oleh semua pihak. Jadi, nilai seni dan sastra yang terkandung
baik dalam bahasa asli al-Quran maupun bahasa menyentuh perasaan begitu ia
membaca, memahami, dan menghayatinya. Dalam hal ini, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa satu-satunya terjemahan dalam bentuk nazham (bersajak)
adalah dalam bahasa Aceh. Memang, dalam berbagai bahasa di dunia al-Quran sudah
dialihbahasakan, tetapi tidak ada satu pun yang diterjemahkan ke dalam bentuk
nazham secara bersajak. Atas pertimbangan inilah, penyusun memasukkan tarjamah
dalam nazham Aceh ke dalam Tafsir Pase ini.
Aspek lain yang paling
penting dalam tafsir ini ialah penyusunan surah-surah dalam juz ‘amma (juz
ke-30) tidak dimulai dari surah yang panjang kepada yang pendek, sebagaimana
lazimnya kitab-kitab tafsir, tetapi sebaliknya, dari yang pendek kepada yang
panjang. Hal ini didasarkan pada pengalaman peserta halaqah pengajian
al-Quran Pase yang cenderung mengkaji surah-surah pendek, karena lebih mudah
untuk memahaminya, sebelum membahas surah-surah panjang. Namun, seperti
kebanyakan pengkaji al-Quran cendrung memahami surah al-Fatihah, karena
dianggap pembuka al-Quran dan sekaligus biasa dibaca dalam shalat terlebih
dahulu, sebelum berpindah kepada surah-surah lain. Atas pertimbangan inilah,
tafsir ini diawali dengan surah al-Fatihah secara utuh. Surah ini
disajikan dalam tafsir ini mengingat makna yang dikandungnya demikian sarat dan
padat; selain selalu dibaca dalam shalat oleh setiap mushalli (orang
yang melakukan shalat. Dan dengan sendirinya pemahaman dan penghayatan terhadap
surah ini merupakan suatu keharusan. Kemudian, disusul dengan surah-surah dalam
juz ‘amma yang dimulai dari surah an-Nas dan diakhiri dengan
surah an-Naba’.
Metode Penafsiran
Dalam membahas ayat-ayat, penyusunan menggunakan metode kombinasi tahlili-maudhu’i.
Tentu saja kombinasi dua metode ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan secara
utuh dan akurat. Hal ini disebabkan pembahasan yang sangat panjang selain
keterbatasan ruang dan waktu. Namun, prinsip-prinsip dasar kedua metode ini
tetap tak terabaikan. Misalnya dalam membahas ayat-ayat penyusun memperhatikan
urutan atau susunan ayat dan surah, asbabun nuzul, dan mengutip sebagian
pendapat ulama yang dianggap relevan di samping kebanyakan percikan pemikiran
penyusun sendiri. Pada sisi lain, dalam membahas ayat-ayat penyusun memuat
ayat-ayat yang ada korelasinya dengan tema atau topic dari setiap penggalan
ayat. Dengan demikian, setiap penggalan ayat dapat dipahami maknanya ketika
membaca ayat-ayat lain yang ada relevansinya.
Untuk memudahkan
pembahasan, penyusun membuat satu pola atau acuan penafsiran dengan
sistematika: penyajian teks ayat setiap surah secara utuh; tarjamah dalam
bahasa Indonesia dan nazham Aceh, ikhtisar kandungan setiap
surah, asbabun nuzul ayat, topik pada setiap penggalan ayat, teks setiap
penggalan ayat, tafsir setiap penggalan ayat, munasabah ayat, dan mau’izhah.
Sebelum dibahas
setiap penggalan ayat, terlebih dahulu disajikan teks ayat setiap surah secara
lengkap berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia; dan dimuat pula
terjemahan dalam nazham Aceh. Terjemahan terjemahan terakhir ini sebagai
pelengkap, tidak dilihat pada pengulangan terjemahan, yang pertama dalam bahasa
Indonesia dan yang terakhir dalam bahasa daerah, tetapi lebih kepada pengenalan
dan penghargaan terhadap nilai seni yang indah secara bersajak.
No comments:
Post a Comment