Wednesday, July 18, 2012

TERJEMAHAN dr KITAB ASH-SHABUNI

RINGKASAN BAB FATIHATUL KITAB
  
1. Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani.
2. Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan Yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam.
3. Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani.
4. Yang Menguasai pemerintahan hari Pembalasan (hari Akhirat).
5. Engkaulah sahaja (Ya Allah) Yang Kami sembah, dan kepada Engkaulah sahaja Kami memohon pertolongan.
6. Tunjukilah Kami jalan Yang lurus.
7. Iaitu jalan orang-orang Yang Engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang Yang Engkau telah murkai, dan bukan pula (jalan) orang-orang Yang sesat.

Ø  Nama bagi Surah al-Fatihah
  Tiga nama bagi surah al-Fatihah : al-Fatihah, Ammul Kitab, dan as-Saba’al muthani
Ø  Tafsirnya:
  Allah yang Maha Agung lagi Maha Tinggi memerintahkan membaca ta’awwudz (hendak) membaca al-Quran, berdasarkan dalil al-Quran surat an-Nahl:98
 
98. Oleh itu, apabila Engkau membaca Al-Quran, maka hendaklah Engkau terlebih dahulu) memohon perlindungan kepada Allah dari hasutan Syaitan Yang kena rejam.

1.      Ja’far al-Shadiq berkata membaca ta’awwudz sebelum membaca al-Quran adalah harus. Adapun untuk amalan-amalan lain tidak ada ketentuan.
2.      Yang paling masyhur di kalangan ahli bahasa, bahwa yang dimaksud basmalah itu ialah ucapan “bismillahirrahmanirrahim”. Memulai al-Quran dengan basmalah memberikan bimbingan kepada kita, hendaknya mengawali semua perbuatan dan perkataan kita dengan basmalah. Ada hadits sahih yang berbunyi:
setiap perkara yang penting yang tidak dimulai dengan (membaca) bismillahirrahmanirrahim adalah terputus (barakahnya).
Kemudian jika ditanyakan: Mengapa kita harus membaca bismillah bukan billah?
Maka jawabnya adalah sebagaimana yang dikatakan al-‘Allamah Abu Su’ud: itu adalah untuk membedakan antara “sumpah” dan “tabaruk” (mencari berkah). Sebuah pendapat mengatakan bahwa kata “billah” itu sekaligus mengandung sumpah dan tabarruk, maka (penyebutan lafad) “bismi” (dengan nama/atas nama) itu menunjukkan pada maksud tabarruk dan permohonan perlindungan dengan menyebut nama-Nya, sehingga kemungkinan mengandung maksud bersumpah dengan sendirinya tertepiskan)
3.      Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa nama adalah hakekat si pemilik nama itu sendiri, maka dengan demikian, ucapan bismillah itu sama dengan billlah dan bahawasanya kata “ism” itu terbaur (dalam kata lainnya).
4.      Perbedaan antara lafa, “Allah” dan lafal “Ilah” ialah, bahwa yang pertama itu nama bagi Dzat yang Mahasuci yang tidak dimiliki oleh makhlukNya, yang berarti “al-ma ‘bud bihaqqin” (Yang Berhak diibadahi). Sedangkan yang kedua (Ilah) mencakup (semua yang disembah) baik untuk Allah sendiri maupun lain-Nya.
5.      Dalam ucapan “bismillahirrahmanirrahim” mengandung faedah-faedah yang besar. Antara lain a. tabarruk (mencari berkah) dengan menyebut nama Allah; b. mengagungkan Allah; c. mengusir syaitan; d. menampakkan perbedaan dengan kaum musyrikin yang biasa membuka pekerjaan-pekerjaan mereka dengan berhala-berhala mereka; e. menimbulkan rasa aman bagi orang yang merasa takut dan menunjukkan pengucapnya berhubungan dengan Allah; f. pengakuan atas ketuhanan Allah, dan nikmat-Nya. Serta permohonan pertolongan-Nya; g. dalam basmalah terkandung dua nama-Nya yaitu Allah dan ar-Rahman.
6.      Alif dan lam pada lafal “al-hamd” adalah mengandung arti mencakup semua jenis (yakni semua jenis al-hamd/pujian), artinya “tidak ada yang berhak memperoleh sanjungan yang sempurna dan pujian paripurna, kecuali Allah Rabbul ‘Alamin. Dialah tuhan yang bersifat sempurna yang berhak diagungkan, disanjung, dan disucikan. Sedang kata “al-hamd” dengan bentuk ma’rifat (dengan kata sandang “tentu” yaitu “al”), menunjukkan bahwa pujian bagi Allah merupakan perkara yang kekal dan terus-menerus, tidak mengenal baru datang yang berulang-ulang.
7.      Faedah menyebut ar-Rahman ar-rahim sesudah lafal rabbul Alamin adalah karena lafal “Rabb” mengandung makna kebesaran, kepemimpinan dan pemaksaan, maka barangkali orang yang mendengarkan lafal Rabb ini akan mengira bahwa Ia Pemaksa yang tidak menyayangi hamba-Nya sehingga timbullah rasa takut di dalam jiwanya dan putus as, maka dikaitlah “ungkapan” ini dengan kata-kata ar-Rahman ar-Rahim untuk menguatkan bahwa al-Rabb ini Maha Agung  lagi Maha Tinggi dan kasih saying-Nya meliputi segala sesuatu.
8.      Firman Allah “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan” ini, terjadi iltifat, (peralihan) dari kata ganti untuk orang ketiga ke kata ganti untuk orang kedua (minal gahibah ilah khitab), dengan cara menganekaragamkan kalimat, karena hal itu lebih mengena dalam kecenderungan jiwa serta menarik sugesti. Dan iltifat ini salah satu macam  metode Ilmu Balaghah. Kalau mengikut kalimat sebelumnya tentu berbunyi “iyyahu na ‘budu” (kepada-Nya kam menyembah), tetapi kemudian dialihkan dari dhamir ghaibah ke dhamir mukhathab dengan menggunakan metode iltifat.
9.      Na’budu dan nasta’in menggunakan kata jama’, tidak dengan kata-kata a’budu dan asta’inu. Ini mengandung makna yang halus dan dalam, yaitu pengakuan seseorang atas segala kekurangannya dihadapan Raja Diraja yang Maha Agung dan Maha Tinggi, serta pengakuan kekurangannya dalam memohon pertolongan dan hidayah kepada-Nya dengan sendirian, maka seolah-olah ia berkata: Ya Rabbi aku seorang insane yang hina lagi rendah, tidaklah patut kiranya aku berdiri dalam kedudukan ini, dalam bermunajat kepada-Mu, seorang diri, tetapi aku menggabungkan diri secara serentak dalam kelompok orang-orang yang bertauhid, lalu aku berdo’a kepada-Mu bersama mereka, maka kabulkanlah do’aku bersama mereka ini, kami secara serentak bersama-sama menyembah-Mu dan memohon pertolongan kepada-Mu.
10.  Allah menisbatkan pemberian nikmat atas diri-Nya (an’amta ‘alaihim) tetapi menyesatkan dan murka tidak Ia nisbatkan atas diri-Nya. Ia tidak berfirman “ghadabta ‘alaihim wa adhlaltahum” (dan bukan orang yang telah Engkau murkai dan Engkau sesatkan). Hal ini bertujuan untuk member pelajaran kesopanan (sikap hamba) terhadap Allah Azza wa jalla. Sehingga tidak dinisbatkan hal keburukan kepada-Nya meskipun pada hakekatnya merupakan taqdir-Nya.

  Kandungan Hukum
1.      Hukum pertama : Adakah Basmallah Ayat daripada al-Quran?
Ijmak ulama bersepakat bahawasanya basmallah telah datang pada surah al-Naml pada ayat yang ke 30. Tetapi p’khilafan disini ialah, adakah ia ayat daripada al-Fatihah, dan awal setiap surah ataupun tidak? Dalam masalh ini  tiga perkhilafan di sini :
a.       Mazhab Syafie : ia ayat daripada surah al-fatihah, dan termasuk ayat pertama dari setiap surah.
b.      Mazhab Maliki : bukan daripada ayat al-Fatihah, dan bukan daripada surah-surah dalam al-Quran.
c.       Mazhab Hanafi : ia merupakan ayat yang lengkap atau sempurna daripada penurunan al-Quran untuk membeza-bezakan di antara surah-surah lain. Dan ia bukan ayat daripada surah al-Fatihah.

Ø  Dalil Mazhab Syafie
Beliau mengambil dalil daripada :
1.      Hadits Abu Hurairah daripada Nabi Muhammad s.a.w telah bersabda :
sekiranya kamu membaca الحمد لله رب العالمين . Maka bacalah ( bismillahirahmanirahim). Sungguhnya ia ammu kitab, ummul kitab dan tujuh ayat yang diulang-ulang, sedang bismillahirrahmanirrahim itu adalah satu dari ayatnya”
2.      Hadits Ibn Abbas r.a:
sesungguhnya Rasullulah membuka solat dengan “bissmillahirrahmanirrahim”
3.      Hadits dari Anas r.a, bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan Nabi saw, lalu ia menjawab:
“Adalah bacaannya panjang, kemudian ia membaca bismillahirrahmanirrahim, malikiyaumiddin.
4.      Hadits dari Anas r.a, bahwa ia berkata:
“Suatu hari Rasul berada diantara kami, tiba-tiba ia mengantuk, kemudian ia mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya: apakah gerangan yang menyebabkan engkau tersenyum ya Rasulullah? Ia menjawab: tadi telah turun kepadaku sebuah surat. Kemudian ia membaca “bismillahirrahmanirrahim, inna a’thainakal kautsar fa shalli lirabbinka wanhar inna syani’aka huwal abtar”
5.      Mereka menggunakan dasar secara naqal, yaitu bahwa dalam mushaf al-Quran yang pertama, basmalah itu tertulis pada permulaan surat al-Fatihah dan pada permulaan setiap surat lainnya, kecuali surat at-Taubah, demikian juga dalam mushaf yang ditulis pada periode berikutnya yang kemudian dikirim ke ibukota-ibukota negara Islam.

Ø  Mazhab Maliki
  Beliau mengambil dalil bahawasanya bissmillahirrahmanirrahim bukan ayat daripada surah al-Fatihah, dan bukan daripada salah satu ayat al-Quran :
a.       Hadis Aisyah r.a : “Adalah Rasulullah saw membuka salat dengan takbir dan (membuka) bacaan dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
b.      Hadis Annas, ia berkata: Aku telah sembahyang di belakang Baginda saw, Abu Bakar, Umar, Uthman, sesungguhnya mereka memulakan dengan alhmdullilahirabbilaalamin.
(HR. Bukhari-Muslim)
Dan lafal Muslim dikatakan :
“Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim, baik pada permulaan bacaan maupun pada akhirnya”
c.       Hadits Abu Hurairah r.a, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: Aku membagi shalat antara-Ku dan hamba-Ku dua bagian, sedang bagi hamba-Ku apa yang ia pinta. Maka apabila seorang hamba mengucapkan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, maka Allah berfirman: Hamba-Ku memuji-Ku. Dan apabila hamba tadi mengucapkan ar-rahman ar-rahim, maka Allah berfirman : Hamba-Ku menyanjungkan-Ku. Dan apabila hamba tadi mengucapkan maliki yaumid-din, maka Allah berfirman: Hamba-Ku mengagungkan Aku, dan suatu ketika berfirman: Hamba-Ku menyerahkan (urusannya) kepada-Ku. Maka apabila ia mengucapkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu, Ia berfirman: Ini antara-Ku dan antara hamba-Ku dan bagi haba-Ku apa yang ia pinta. Kemudian apabila ia mengucapkan ‘ihdinas shirathal mustaqim shirathal ladzina am’amta alaihim ghairil magdhubi alaihim wa aladhallim’, maka Ia berfirman: Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia pinta”.
d.      Dan kalau basmalah itu termasuk surat Fatihah, maka akan terjadi pengulangan, yaitu “ ar-rahmanir rahim” yang lengkapnya berbunyi demikian “bismillahirrahmanirrahim alhamdulillahi rabbil ‘alamin arrahmanirrahim”, model seperti ini dapat merusak keindahan susunan yang agung ini.
e.       Ditulisnya basmalah di permulaan surat-surat adalah untuk diambil berkatnya dan demi melaksanakan perintah agar memulai segala hal dengan membacanya.


Ø  Mazhab Hanafi
Golongan ini berpendapat bahwa penulisan basmalah pada mushaf menunjukkan ia daripada al-Quran tetapi ia tidak menunjukan ayat daripada setia surah. Dan telah datang hadith yg memberitahu tidak perlu membacanya dengan keras dalam solat bersama al-Fatihah, ia menunjukan bukan sebagian daripada al-Fatihah. Maka mereka menetapkan ia adalah ayat yang daripada al-Quran secara total, kecuali surah al-naml. Ia telah diturunkan untuk membeza diantara surat-surat.
        Diantara yang memperkuat pendirian madzhab mereka yaitu riwayat dari Sahabat sesungguhnya mereka telah berkata : kami tidak tahu penghabisan surat-surat sehingga telah turunnya “bissmillahirahmanirahim”
  Daripada Ibn Abbas r.a : bahawasanya rasullullah tidak tahu untuk membeza surah-surah sehinggalah turun nye ayat “bissmillahirahmanirahim

Ø  Pandangan yang Paling Tepat ataupun Paling Rajeeh

Pandangan yang paling tepat menurut pengarang kitab ini adalah pendapat Mazhab Hanafi daripada Qaul-qaulnya karena merupakan pandangan yang netral dia antara dua pandangan yang saling bertentangan.

1.      Apakah Hokum Membaca Basmallah dalam Shalat?

Ahli-ahli fiqh berbeza pendapat dalam membaca basmalah dalam shalat :

Mazhab Maliki : Melarang membacanya dalam shalat, dari segi jelas ataupun senyap. Baik di permulaan Fatihan maupun di permulaan pada surat-surat lain. Dan sebahagian yang boleh membacanya dalam shalat sunat.
Mazhab Hanafi : Ketika shalat membacanya dengan cara senyap disertakan dengan al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat. Dan lebih bagus baca setiap surat.
Mazhab syaafie : Membacanya ketika shalat adalah wajib, dalam shalat jahriyah harus dibaca keras dan dalam shalat siriyyah harus dibaca perlahan.
Mazhab Hanbali : membacanya dengan senyap, dan tidak sunnat baca dengan jelas

Mereka berbeda pendapat pada “bissmillahirahmanirahim”, adakah ia ayat daripada surah al-fatihah dan awal bagi setiap surah ataupun tidak. Permasalahan ini telah dibicarakan terdahulu.
        Dan perkhilafan pada membacaan secara jelas dalam solat. Maka telah di naqal kan daripada Ahmad : “Sesungguhnya tidak sunat membaca secara jelas” . Ia pendapat Abu Bakar, Umar, Uthman, Ali, Ibn mas’ud, Mazhab Thauri, Malik, Abi Hanifah

2.       Adakah Wajib Membaca Fatihah Dalam Shalat?

Perbedaan pendapat fuqaha dalam hukum membaca Fatihah dalam shalat berdasarkan dua mazhab :
 Mazhab Jumhur (Malik, Syafie, Ahmad) : Sesungguhnya membaca fatiha adalah syarat sah solat, maka siapa yang meninggalkan keatas qudrat nya maka tidak sah solat nya.

Mazhab ats-Tsauri & Hanafi : Dibolehkan tidak membaca al-Fatihah dan tidak membatalkanya. Tapi, wajib membaca ayat al-Quran dan paling sedikit tiga ayat pendek ataupun satu ayat panjang.

Ø  Mazhab Jumhur
Mereka mengambil dalil wajibnya membaca fatiha :

1.      Hadits Ubadah bin Shamit bahwa Nabi saw. bersabda:
“ Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah”
2.      Hadits Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa shalat tanpa membaca al-Fatihah, maka shalatnya tidak sempurna, maka shalatnya tidak sempurna, maka shalatnya tidak sempurna”
3.      Hadits daripada Abi Sa’id al-Khudri : “Kita disuruh atau diperintahkan membaca al-Fatihah dan apa (ayat) yang mudah (bagi kami)”

              Mereka berkata: Riwayat-riwayat ini menunjukkan wajibnya membaca al-Fatihah dalam shalat, karena sabda Nabi saw: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah” itu menunjukkan tidak sahnya, demikian juga hadits Abu Hurairah “maka shalatnya tidak sempurna”, yang diulang tiga kali oleh Nabi saw. adalah menunjukkan kurang pada fasidnya. Atas dasar ini maka seharusnya bacaan Fatihah itu menjadi syarat sahnya salat.



Ø  Mazhab Hanafi

Ats-Tsauri & Fuqaha golongan Hanafiyah menganggap sah shalat dengan tidak membaca al-Fatihah dengan al-Quran dan Sunnah :

a.       Firman Allah yang artinya : “maka bacalah apa yang mudah daripada al-quran” (al-muzammil : 20). Maka ini menunjukan wajib membaca ayat atau sesuatu yg mudah daripada al-Quran. Karena telah disebut pada pembacaan dalam shalat dengan dalil firman Allah yang artinya : “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya engkau berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam”, kemudian selanjutnya Allah berfirman: “Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Quran”
b.      Daripada Abi Hurairah r.a : Sesungguhnya telah masuk seorang pemuda kedalam masjid untuk solat, kemudian telah datang Rasulullah kemudian memberi salam kepada Rasullullah, lalu baginda menjawab salamnya dan bersabda : “ Shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat”. Kemudian laki-laki itu shalat, lalu datang. Kemudian Nabi saw. menyuruhnya mengulang shalatnya kembali, sehingga tiga kali, lalu laki-laki itu berkata: Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak dapat mmperbaiki lagi selain itu, Nabi saw. bersabda: “Apabila engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu dengan sempurna, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu takbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Quran dst”.
Mereka berkata: Hadits Abu Hurairah tentang Nabi saw. yang mengajarkan shalat kepada laki-laki di atas menunjukkan “boleh memilih” (bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Quran), dan memperkuat pendapat kami, dan bahwa ayat al-Quran tersebut menunjukkan tentang bolehnya membaca ayat apa saja dari al-Quran.

4.      Adakah Makmum Dibolehkan Membaca di Belakang Imam?
Mazhab Syafie & Hambali : wajib membaca al-Fatihah di belakang imam sama ada solat secara sirr atau jahriyah.
Mazhab Maliki : Membaca secara sirr (senyap) belakang imam, dan tidak perlu membaca secara jelas.
Mazhab Hanafi : Tidak wajib membaca al-Fatihah di belakang imam sama ada secara jelas ataupun senyap.
Dalil yang digunakan oleh Syafi’iayah dan Hanbali dengan Hadis “ Tidak shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah”. Ia adalah lafaz umum yang menyeluruh makmum dan imam, samada shalat secara jahriyyah ataupn siriyah. Maka barang siapa tidak membaca Fatihah maka tidak sah shalat.
              Imam Malik yang mewajibkan membaca al-Fatihah secara sir dalam shalat, dan melarang membaca dibelakang imam apabila shalat jahriyah dengan berdasarkan pada firman Allah “Dan apabila al-Quran dibaca, maka dengarkanlah dan perhatikanlah agar supaya kamu dirahmati”. ( Qs. Al-A’raf:204)
              Al-Qurtubi mengutip daripada pendapat Imam Malik yang mengatakan, sesungguhnya dia tidak membaca pada jahhr dengan sesuatu daripada al-Quran di belakang imam, Dan berbeza dalam sir dia membaca. Maka sesungguhnya siapa yang tidak membacanya maka buruk dan tidak ada sesuatu padanya.
               Mazhab Imam Hanafi sesungguhnya ia melarang daripada membaca di belakang imam secara mutlak berdasarkan firman Allah : “Dan apabila al-Quran itu dibaca maka dengarkanlah” (al-A’raf : 204), dan hadits yang berbunyi : “Barangsiapa (shalat) bersama iman, maka bacaan imam (cukup) baginya”.
Hikmat Tasyri’
              Seorang manusia akan berdiri di hadapan surat yang mulia ini (al-Fatihah) sebagai seorang hamba yang tunduk, yang mengakui kelemahannya, yang merasa kekurangannya, sebab surat ini adalah wahyu yang diturunkan Allah. Al-‘Allamah al-Qurtubhi berkata: surat al-Fatihah ini disebut “al-Qur’anul ‘azhim”, karena segala macam ilmu al-Quran sebab surat ini berisi pujian kepada Allah yang Maha Gagah dan Maha Agung dengan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, perintah beribadah dan ikhlas dalam menjalankannya, mengakui kelemahan diri, bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa ditegakkan tanpa pertolongan-Nya, mohon petunjuk shiratul mustaqim, mohon dijauhkan dari mengikuti ihwal orang-orang yang durhaka, menerangkan akibat orang-orang yang menyeleweng, dan inilah tujuan-tujuan yang dibawa oleh al-Quran itu sendiri.
              Asy-Syahid Syeikh Hasan al-Banna berkata dalam Risalah-nya yang berharga “Muqaddimah Fit Tafsir”, ‘ Tidak diragukan lagi orang yang merenungi surat al-Fatihah yang mulia ini juga setiap mukmin yang berusaha menghayati, baik di waktu shalat atau di luarnya, ia akan mengetahui kekayaan maknanya, keindahan (lafal-lafalnya), keserasian hubungannya (antara satu ayat dengan ayat yang lain), keagungannya, rasionya, cahayanya yan dapat menyinari kepada sekeliling hati (pembacanya), yaitu mula-mula pembacanya menyebut sambil bertabarruk dengan membaca nama Allah yang bersifat Rahman, yang pengaruhnya Nampak secara rutin dalam segala sesuatu, yang menumbuhkan rasa (kesadaran), bahwa hubungan antara dirinya dengan Khaliqnya yang Maha Agung adalah terletak pada sifat Rahman-Nya yang meliputi segala sesuatu.


No comments:

Post a Comment